Guadalupe adalah pohon terakhir yang hidup di hutan kami. Iya, yang terakhir.
Betul-betul yang terakhir!. Memang, sejak datangnya agama baru di kampung kami,
satu persatu warga tak lagi datang ke tengah hutan untuk menghampiri dan
membersihkannya. Tak ada sesaji lagi, buah dan sagu yang bertengger setiap pagi
di bawah dahan rindangnya pun sama.
Sebab dalam dongeng yang dikisahkan oleh pembawa agama baru itu, pohon-pohon
besar yang ada di tengah hutan itu hanyalah pohon yang berusia ratusan tahun.
Sama-sama mahluk tuhan. Bahkan kabarnya suka dihuni oleh setan, wewe gombel,
jin ifrit, hantu hutan, dan segala jenis jembalang. Itu kata mereka. Maka itu
lah akhirnya lambat laun warga jarang mendatangi pohon-pohon di tengah hutan
lebat, di belakang kampung kami.
“Pohon-pohon itu diciptakan untuk menopang kehidupan manusia di dunia. Daun dan
ranting bisa diambil. Pendek kata dari akar sampai pucuk ada gunanya,” kata
pemuka agama baru yang dari hari kehari semakin banyak pengikutnya.
Awalnya hanyak belukar yang tumbuh di sekitar pohon-pohon besar di tengah hutan
itu. Namun pada akhirnya, ada juga satu dua penduduk yang berani menebang
pohon-pohon yang sudah berusia ratusan tahun itu. Satu pohon dua pohon,
lama-lama se hektar sudah pohon-pohon yang dulu dikeramatkan itu ditebang.
Habis, gundul, botak. Seperti kepala cukong yang suatu hari datang ke kampung
kami sambil menawarkan kepada orang-orang desa pekerjaan baru; merambah dan
membuka lahan!
“Saya mohon bantuan dari warga desa sini untuk membantu saya membuka lahan baru
untuk hunian para transmigran saudara-saudara kita dari pulau Jawa.” kata
cukong gendut itu sambil mengelus-elus kepalanya yang botak.
Maka sejak itu, penduduk berlomba-lomba merayap di tengah hutan lebat. Berburu
pohon-pohon yang dulu mereka sembah, dan mereka yakini sebagai yang mengatur
kehidupan di dunia. Dengan alat yang paling tradisional sampai alat canggih
yang didatangkan dari ibu kota Jakarta. Dengan berbagai merek teknologi dari
luar negeri.
***
Hujan mulai reda. Tetes-tetes air menyusup di antara dedaunan rimbun Guadalupe.
Pohon itu masih tetap berdiri tegar. Masih setegar dahulu, ketika dongeng
Baratayudha dikisahkan para pandita. Masih tetap kokoh, sekokoh dahulu, ketika
udara nusa ini dipenuhi asap mesiu pertempuran Anusapati atau Antasari. Masih
gagah, segagah dahulu ketika hawa panas revolusi benar-benar membakar semuanya.
Membakar semua bentuk imperialisme di dunia. Masih kuat, sekuat dahulu, ketika
menjadi saksi bisu dari kisah-kisah gerilyawan yang masuk keluar hutan,
merampok dan menghabisi logistik lawan. Guadalupe. Guadalupe.
Guadalupe masih angkuh menantang angin yang masih bertiup dengan kencang.
Geledek dan guntur masih membahana di atas langit hutan dan kampung kami. Masih
lantang menyanyikan kekalahan Guadalupe yang sudah di depan mata.
“Guadalupe pasti tumbang, tapi entah kapan. Guadalupe adalah yang terakhir
tumbuh di atas bumi.”
“Ini dia, tinggal satu-satunya yang masih tegak berdiri,” Syawal berbisik.
Matanya merah. Sudah semalaman kami berjalan menembus hutan. Hanya untuk sampai
di pohon terakhir.
Aku menghela nafas, keringat masih bercucuran. Kusandarkan singsaw di batang
pohon besar, yang sekarang sudah ada di depan mataku. Benar-benar besar. Aku
tengadah ke pucuknya, tinggi sekali. Aku mengira, kalau ketinggiannya sanggup
menembus kulit langit.
“Jam berapa?” tanyaku.
“Dua jam dari sekarang,” jawab Syawal sambil membuka botol vodka. Temanku itu
menenggak bagiannya lantas mengirimkan botol setengah kosong itu padaku.
“Lumayan hangat, jari kakiku tadinya nyaris tak bisa digerakkan,” katanya lagi
sambil meminta botol yang baru saja kutenggak isinya.
Aku diam, Syawal juga terdiam. Yang terdengar hanya suara tetes hujan yang
satu-satu masih jatuh menimpa dahan. Suara jangkrik perlahan muncul dari balik
kesuraman hutan yang sudah meranggas ini hingga membuat semuanya tak lagi
benar-benar sunyi.
“Kau takut?” tanya Syawal kepadaku. Aku menggeleng sambil menelan ludah.
“Lima belas tahun yang lalu aku masih suka ke sini. Membawa sagu, buah, kembang
dan kemenyan,” ceritanya. Aku menghampiri Syawal, maklumlah sebelum kenal
agama, dia ini memang pernah menjadi pemuja pohon dan jembalang hutan.
“Bersama ayahku, kami keluar masuk hutan untuk berburu babi, makanya kami
singgah di sini.” kata dia. Aku mendengar dan mencoba masuk ke dalam suasana.
“Suatu hari, kami mengalami kesialan. Sudah dua hari berburu babi, tapi tak ada
satu ekor pun yang kena. Lalu, ayahku mengambil sedikit bekal kami, dan
menyuguhkannya di bawah pohon ini. Lalu berdoa,” kata Syawal sambil menirukan
orang berdoa, dengan menyembah-nyembah pohon besar yang ada di depan kami.
“Percaya atau tidak, tak lama ayahku berdoa, seekor babi tiba-tiba muncul di
depan situ,” kata dia sambil menunjukan sebuah tempat.
Mata Syawal berbinar, aku rasa dia puas mengisahkan pengalamannya itu kepadaku.
Sambil setengah tertawa dia meneruskan kisahnya, “Sekarang semuanya berubah.
Aku percaya tak ada sesuatu yang akan terus bertahan. Cepat atau lambat. Hanya
persoalan waktu.” kata dia.
Aku masih menggigil kedinginan. Keringat dan air hujan bercampur. Entah menjadi
apa. Badanku serasa mau rubuh saja. Tapi tak mungkin, sebab beberapa waktu lagi
babak penghabisan dari sebuah kisah akan berakhir. Dan itu artinya akan dimulai
lagi kisah yang baru. Yang akan menjadi dongeng, atau legenda kemudian hari.
Siapa tahu.
Aku sudah terlalu banyak mendengar kisah keangkeran tempat ini, kesucian dan
kesakralan pohon besar yang konon menurut ceritanya adalah jembatan penghubung
antara dunia manusia dan dunia dewata. Menurut ayahku, tak ada wewe gombel yang
mendiami pohon ini. Yang ada adalah dewa kesuburan, yang membagikan rejeki
kepada siapa saja yang datang kepadanya. Tetapi oleh karena kesetiannya pada
dongeng kesucian Guadalupe, aku bersedih. Sebab ayahku mati dalam keyakinannya,
yang menurutku adalah keyakinan yang palsu.
Entahlah, mungkin saja ayahku benar. Mungkin aku yang salah. Atau mungkin saja,
nantinya, dari surga yang berbeda, kami akan saling menyapa. Mungkin saja. Toh
semua ajaran menjanjikan mimpi yang semu. SURGA! Sebuah tempat yang antara ada
dan tiada. Tapi bagiku inilah surga; hutan lebat lima tahun yang lalu, suara
suara hewan liar gentayangan. Ini surga yang nyata, yang menjanjikan
pemandangan paling eksotik di depan mata. Hijau, jingga, merah nyala. Bagiku
inilah warna surga sebenar-benarnya.
***
“Dilarang berpikiran kotor di tempat ini” kata Syawal membuyarkan lamunanku.
“Kenapa? Kau masih percaya saja dengan dongeng,” kataku sambil merampas botol
vodka yang ada di tangannya. Syawal tersenyum
“Aku masih percaya. Tapi ini tak ada urusan dengan keyakinanku yang sekarang,”
kata dia berdialektika. Aku mesem saja menahan panas kerongkongan dari tegukan
kadar 76 persen alkohol yang diberikan cukong berkepala botak kepada kami.
“Mabuk kau,” kataku memaki Syawal. Dia terkekeh. Membuat bulu kudukku berdiri.
“Kau yang mabuk,” katanya. “Kau tak tahu apa-apa soal pohon ini,” kata dia
dengan wajah tegang. Aku menggigil. Tapi bukan gigil kedinginan.
***
Angin membawa bau hutan tropis masuk menusuk hidungku. Perlahan efek dari
alkohol itu terasa juga. Aku mulai menggerakkan kakiku. Jantungku semakin
berdegup kencang memompa darah. Keringat sebesar jagung mengusir air hujan di
bajuku. Tapi Guadalupe, aku masih tak bisa merasakan Guadalupe. Aku masih tak
bisa kenali pohon yang membuatku hidup sampai sekarang. Guadalupe!
***
“Ini, ada sagu, dan buah,” kata ayah kepada ibu, lima belas tahun yang lalu.
“Darimana Yah,” tanya mendiang ibuku. Ayah diam. Ibu terus mendesak.
‘Ayah mencuri dari Guadalupe lagi ‘kan?” serang ibu. Aku diam, terkapar pasrah
kesakitan. Sebulan sudah aku kekurangan gizi. Terbaring di dipan bambu lapuk.
Menahan lapar dan sakit aneh.
“Ah, sudahlah, yang penting anak kita makan,” kata ayah.
“Tidak, ini haram. Menurut agama, ini haram, apalagi dicuri dari sesaji,
haramnya jadi dua kali.” kata ibuku yang waktu itu telah memeluk agama.
Mereka bertengkar sepanjang malam, hanya gara-gara sagu dan buah dari
Guadalupe. Semakin lengkaplah kesengsaraanku. Ketika ibu menangis dan ayah
membanting semua sagu dan buah ke tanah. Aku menangis. Lantas menyudahi
perdebatan mereka tentang sagu dan buah dari bawah Guadalupe.
Dengan sisa tenaga, aku santap habis sagu dan buah yang dibawa ayah. Dari depan
pintu aku lihat ayahku menitiskan air mata memandangiku. Dan ibuku terduduk
lesu dengan seribu argumennya yang tak mempan olehku.
***
“Jan, kau tahu, agaknya dahulu Guadalupe selalu senang dengan persembahan dan
sesaji dari ayahku,” kata Syawal lagi-lagi menyoyak ingatanku.
“Buktinya, setiap keesokan harinya ayahku datang untuk memberikan sesaji yang
baru, sesajinya yang kemarin sudah habis. Begitulah, ayahku merasa
peruntungannya semakin hari semakin baik setelah jin penunggu pohon ini melahap
habis sesajinya.” kata Syawal.
“Tapi aku bersyukur, kebodohan ayahku tak berlangsung lama. Akhirnya dia
memakai pikirannya untuk memeluk agama,” kata Syawal membanggakan ayahnya yang
sudah mati dalam keadaan beragama.
Aku ingat ayahku. Mataku berkaca-kaca. Boleh jadi sagu dan buah yang selalu
dibawa ayah adalah sesaji dari ayah si Syawal. Bodoh betul kalau begitu ayah si
Syawal. Bahkan sampai mati dia tak tahu kalau sesajinya tak pernah dimakan oleh
Guadalupe. Huh, konyol!
Aku pernah berpikir, betapa konyolnya orang-orang seperti kami. Dimelekkan oleh
ajaran baru, tapi harus kehilangan pohon yang jumlahnya beribu. Dan sekarang
tinggal satu. Itu pun siap ditebang. Oleh tangan-tangan orang sepertiku. Huh,
betul-betull konyol! Aku muak melihat si Syawal, melihat ayahnya, melihat
ayahku. Bahkan aku sudah muak pula melihat diriku, yang beragama hanya karena
takut kelaparan. Sambal goreng!
***
“Ya, hitung-hitung kita beramal. Memberikan saudara-saudara kita dari pulau
Jawa tempat tinggal. Dengan membuka hutan bagi mereka. Kita telah memesan
sebuah tempat di surga,” demikian kata pemuka agama ketika memberikan sambutan
pada acara penebangan pohon pertama. Sementara di samping orang itu, cukong
berkepala botak tersipu-sipu malu. Sungguh merendahkanku, merendahkan nenek
moyangku!
***
Dua jam berlalu dengan cepat. Sementara belum selesai lagi ziarah sejarahku,
rombongan cukong berkepala botak telah tiba dengan alat canggih dan lebih
mutakhir.
“Ini dia pohon terakhir.” seru Syawal bersemangat sambil bangkit dari duduknya.
Aku pun bangkit sambil menepis kotoran yang lengket di celanaku.
“Wah, mantap. Tentu berharga sekali,” bisik si cukong botak sambil
memerintahkan anak buahnya yang lain untuk mengukur dan mengikat batang
Guadalupe. “Pakai rantai yang paling besar. Singsaw kecil tak sanggup
menebasnya,” perintah dia kepada seorang pemuda yang berasal dari kampungku.
Aku minggir dan mengambil singsaw yang semalaman kupanggul dari kampung.
Sekarang beban itu tak ada artinya. Percuma membawa jauh-jauh. Cukong botak
punya singsaw lebih canggih.
Untuk terakhir kalinya aku mamandang kepada Guadalupe. Aku mencoba mengingat
pada sejarahku. Aku berusaha keras senafas dengan pohon tertua yang tersisa di
hutan gundul ini. Lengkingan singsaw merobek lapisan luar kulit Guadalupe. Dia
menangis. Aku merasakan itu. Lebih ke dalam lagi, sampai ke inti. Guadalupe
meraung. Tapi tak ada yang mendengarnya. Sebab raungannya kalah oleh nyanyian
senang singsaw dan tawa rendah si cukong botak.
Sekarang Guadalupe ditarik-tarik dengan tronton. Roda berputar. Waktu berkisar.
Aku teringat ayahku, aku teringat ibuku, aku teringat diriku yang hampir mati
kelaparan.
Guadalupe sekarang menyerah, goyah dan akhirnya rebah ke tanah. Semua orang
girang, tertawa puas. Lantas dengan semangat mereka membawa kapak dan golok,
menebas ranting dan dahan-dahannya. Guadalupe mengaduh, tapi aku hanya bisa
mengeluh. Guadalupe meratap, tapi aku hanya bisa menatap. Guadalupe berkisah,
tapi yang lain bisanya cuma berkilah! Singsaw menganyi, Guadalupe mati.
***
Empat jam sudah. Guadalupe menjadi kepingan-kepingan papan dan balok dengan
berbagai ukuran. Aku terduduk lemas. Di bawah curah hujan yang kembali turun
pelan-pelan.
“Jan, ke mari. Di truk saja istirahatnya,” panggil Syawal. Hujan semakin deras,
semua penebang menghamparkan begitu saja pilah-pilah bagian Guadalupe. Aku
kehabisan tenaga. Aku pasrah.
***
Menjelang malam, hujan semakin deras. Air mulai menggenang. Tanah berlumpur
membenam tubuhku. Aku berusaha bangkit. Tapi tak bisa. Penat sekali. Dan
tulangku sudah mati tak bergerak lagi.
Samar-samar tak kulihat lagi tronton dan penebang lain. Kemanakah mereka? Tega
sekali mereka membiarkanku terkapar sendirian di tengah hutan, di tengah hujan.
Aku minta tolong menggapai-gapai. Sementara rendaman air sudah menelan tubuhku.
Aku berdiri. Tapi sia-sia, sebab air sudah menenggelamkan diriku. Aku melolong
minta tolong. Tak ada yang dengar. Sekeping bagian Guadalupe mengambang di
depanku. Aku berenang menggapainya. Guadalupe hanyut saja.
Sementara tronton dan penebang lainya hanyut di depanku. “Syawal! Tolong aku!”
aku memanggil Syawal. Tapi agaknya dia tak dengar. Posisinya telungkup tak
bergerak. Sementara si cukong botak mengambang dengan perutnya yang semakin
besar. Tidak, tidak! Ini berlebihan!
Guadalupe, tolong aku! Tolong aku!
***
Hari masih begitu pagi ketika kukatakan pada ayah, bahwa dia begitu tolol. Dia
begitu tolol…